Secara medis, penyebab kematian Tuhan Yesus bukan hanya dimulai saat Ia disiksa oleh tentara Romawi. Sebelum itu, setelah peristiwa perjamuan terakhir, Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemani. Ketika Yesus berdoa, Injil Lukas merekam bahwa peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44b). Bisa jadi, hal ini memang hanya Lukas yang menyadarinya karena Lukas adalah seorang tabib sehingga ia bisa memperhatikan keadaan fisik Tuhan Yesus.
Yang sesungguhnya dilihat Lukas pada malam itu sebenarnya bukanlah seperti, melainkan memang itu bisa terjadi dan dapat diterangkan secara medis. Peristiwa ini adalah sebuah kejadian langka yang dapat terjadi pada diri seseorang saat ia mengalami emosi yang sangat berat.
Kitab Markus mencatat Ia mengatakan, “mau mati rasanya” Kesedihan yang dialamiNya begitu luar biasa sehingga Ia nyaris tak dapat menanggungnya. Emosi yang sedemikian berat itu menyebabkan pecahnya pembuluh darah di kulit. Kemudian, darah keluar melalui kelenjar keringat bersama dengan keringat. Keadaan ini disebut hematidrosis atau hemahidrosis yang bila keluar banyak sekali dapat menyebabkan hipovolemi. Mulai dari sinilah, proses kematian Tuhan Yesus sebenarnya sudah dimulai.
Dari Taman Getsemani, Tuhan Yesus ditangkap. Dalam kesendirianNya (murid-murid-Nya lari kocar kacir), Ia menghadap Hanas, setelah itu Kayafas. Emosinya terasa makin berat karena Ia merasa sendiri, ditinggalkan oleh orang-orang yang amat dikasihi-Nya. Ditambah lagi, ia mulai mendapat siksaan fisik. Di pengadilan agama, mukaNya ditampar (Yoh 18:23) dan dipukuli (Lukas 22:63) mulai pukul 01.00 sampai dini hari.
Sebelum ia dihukum mati, ia dibawa ke pengadilan Romawi. Keadaan fisik Tuhan Yesus saat itu sudah makin lemah karena ia tidak tidur semalaman, tidak makan atau minum, juga dipaksa berjalan dari satu tempat ke tempat lain, padahal jaraknya cukup jauh-ditambah pukulan-pukulan serta ejekan, ditambah kesendirian-Nya. Di depan pengadilan Romawi, Tuhan Yesus mulai mendapat aniaya yang luar biasa lewat hukuman cambuk.
Pada waktu itu dikenal dua macam cambuk dera. Yang satu berupa sebatang tongkat atau ranting-ranting yang digunakan untuk warga negara Romawi. Yang kedua berupa cambuk bergagang kayu dengan satu sampai tiga helai kulit atau tali. Ujungnya ada yang diberi bulatan keras atau paku kecil. Jenis ini dipakai untuk mereka yang bukan warga negara Romawi. Jenis kedua inilah yang dipakai untuk mendera Tuhan Yesus.
Menurut undang-undang kerajaan Romawi, yang memberi perintah penyesahan adalah Pontius Pilatus. Itu artinya Tuhan Yesus tidak dicambuk 39 kali seperti yang diperkirakan orang selama ini. Menurut buku Manusia Kain Kafan, penyesahan ini dilakukan sebanyak 121 kali dari kanan dan 121 kali dari kiri. Dengan demikian, jumlah luka yang terdapat pada tubuh Tuhan Yesus sampai di kaki-Nya adalah 726 buah dengan kulit, daging dan otot yang pasti ikut tercabik. Namun demikian, para ‘algojo’ yang mendera itu amat mahir sehingga mereka tidak memukul daerah-daerah tubuh yang mematikan, seperti wilayah jantung, misalnya. Luka-luka ini akan menimbulkan rasa nyeri dan pendarahan yang banyak. Kondisi ini dapat membawa Tuhan Yesus pada keadaan pre shock. Dari sini, Tuhan Yesus harus membawa bagian horizontal dari salib (patibulum) yang beratnya kurang lebih 50 kg ke Bukit Golgota yang terletak di luar kota. Dalam perjalanan, Yesus memikul patibulum pada pundaknya dengan kedua lengan terantang serta diikat pada ujung kanan-kiri patibulum. Bila jumlah terhukum lebih dari satu, mereka akan dihubungkan satu sama lain dengan mengikatkan seutas tali. Ujung kiri dari patibulum masih diikat lagi dengan pergelangan kaki kirinya.
Ini untuk mencegah agar terhukum tidak lari atau memukul tentara dengan patibulum mereka. Dalam buku Manusia Kain Kafan disebut Yesus adalah terhukum yang diletakkan paling belakang. Padahal kondisi tubuhnya lemah dibanding dua orang terhukum lainnya. Dengan kondisi yang paling lemah, tentu Ia berjalan lambat. Akibatnya kedua penjahat yang berjalan di depannya sering menghentakkan patibulum untuk memaksa Tuhan Yesus mempercepat jalan-Nya. Hentakan ini menyebabkan patibulum Yesus yang sebelah kanan tersentak ke depan sedang yang kiri akan terlempar ke belakang dan ini membuat kaki kirinya tertahan, bahkan tertarik ke belakang pula. Keadaan ini membuat Tuhan Yesus jatuh terduduk pada lututnya atau terjerembab dengan muka terbentur batu. Hal ini terjadi berkali-kali. Daripada Yesus mati, para pengawal itu segera memanggil Simon dari Kirene.
Sampai di Golgota, Yesus disalib. Paku yang digunakan ukuran kepalanya 1 X 1 cm dan panjangnya 13-18 cm. Paku ini ditempatkan pada bagian tangan yang diperkirakan dapat menahan tubuh si terhukum supaya tidak sampai melorot ke bawah, tepatnya di pergelangan tangan. Setelah kedua lengan direntangkan dan dipaku, patibulum bersama terhukum diangkat oleh para pengawal untuk memasukkan lubang patibulum ke bagian vertikal.
Berikut, yang dipaku adalah kakinya, dimana sudah disediakan tempat berpijak. Tempat ini ada agar si terhukum lebih lama menderita sebelum mati. Perdarahan di pergelangan lengan ini memang tidak banyak, tapi pasti menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Mengapa? Ada beberapa syaraf yang terkena. Demikian pula halnya dengan kaki-Nya. Rasa nyeri akan terus menerus dirasakan bila Ia bergerak selama tergantung di salib.
Selain itu, gesekan punggung yang penuh luka-luka dengan kayu salib yang kasar akan menambah nyeri dari luka bekas penderaan. Otomatis, darah yang tadinya sudah mengering akan kembali mengalir. Akibat rasa nyeri ini, Yesus mengalami kesulitan saat mengambil nafas. Akibat perdarahan yang dialaminya ini, Yesus akan masuk dalam kondisi gagal jantung. Keadaan inilah yang menyebabkan kematian-Nya di kayu salib.
Keadaan lain yang mempercepat kematian-Nya adalah kondisi tubuh-Nya yang sudah sangat lemah saat Ia digantung di kayu salib. Hal ini ditambah lagi dengan penikaman di bagian sela tulang iga. Tikaman ini menembus paru-paru kanan menuju bilik kanan dan serambi kanan jantung.
Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak dan tak bercacat. (1 Pet 1:18-19)